“ Anifah !!!
Anifah, dengar saya ??? Perhatikan tangan saya, Ini berapa ? “
Aku
terbaring di sebuah ranjang dengan belalai panjang yang melilit pergelangan
tangan. Sebuah jarum menusuk punggung tangan. Sakit. Suara alat-alat terdengar
jelas di telingaku.
Kemudian
beberapa orang perawat dan dokter berbicara, “ Pasien tidak mengalami luka parah.
Dia tidak sadarkan diri. Kami perlu foto ronsen di bagian kepala supaya kami
tahu apakah ada pembekuan darah atau tidak. “
Tapi
perlahan kebisingan itu memudar dan aku merasa tak berdaya, hingga akhirnya aku
tertidur lelap. Aku tak tahu apakah aku dalam keadaan sadar atau tidak. Yang
jelas,aku merasa tubuhku begitu ringan. Suasana yang cukup hening itu membuat
aku semakin takut.
***
3 Januari
2016
Berpilin. Melesat dalam cahaya. Terlempar. Silau. Memedihkan mata.
Perlahan
aku membuka mata. Berkejap-kejap. Silau. Mataku silau oleh cahaya. Lampu kamar
tidurku kah ? Bukan. Cahaya menyilaukan itu bukan cahaya lampu. Ini cahaya
matahari. Dimana kah aku berada ? Bukankah terakhir kali aku sedang duduk manis
di boncengi sepeda motor oleh adikku (Eva) ? Kami akan bersenang-senang sambil
membaca buku di perpustakaan balai pemuda Surabaya.
Tunggu. Kenapa aku justru berdiri di
tengah keramaian ?
Bising sekali. Suara riuh
orang-orang yang berjumel menutupi jalan. Seperti ada tontonan yang membuat
mereka tertarik untuk segera melihatnya. Eva ? Apa yang terjadi ? Seseorang
bercerita bahwa sebuah mobil dari arah berlawanan telah menabrak sepeda motor berwarna merah. Salah seorang
dari mereka ada yang terpental kearah tepi jalan dan tak sadarkan diri. Aku
mencoba menjelaskan bahwa yang terjatuh dari sepeda motor itu adikku. Tolong
bantu dia. Tapi, tampaknya mereka semua tak mendengarku. Mereka hanya diam. Berjalan
melewatiku. Ada apa ini ? Setelah beberapa menit. Syukurlah adikku tidak
mengalami luka. Lantas siapakah orang yang terpental ke arah tepi jalan ?
Hei, itu AKU.
Aku terkesiap. Menelan ludah. Apakah ini mimpi ? Kenapa aku bisa melihat
diri ku sendiri ?
“ Apa yang kau lihat,
Anifah ? “
Aku terburu-buru menoleh. Seseorang
tiba-tiba menegurku dengan ramah. Seseorang yang sama sekali tak ku kenal.
Sedang tersenyum amat hangat. Siapakah orang yang menegurku? Bukankah dari tadi
orang-orang yang berlalu lalang sedikitpun tak menghiraukan aku. Lewat begitu
saja. Seperti melewati batu besar. Orang itu malah menegurku.
“
Siapa kau ?” tanya ku ketakutan.
“
Aku ? Percuma, kau tetap tidak akan tahu siapa aku walau kujelaskan, Anifah. “
Lagi-lagi orang itu tersenyum hangat.
“
Apa yang kau lakukan di sini ? “
“
Menjalankan perintah Tuhan. “
Jangan-jangan ? Aku mengkerut oleh
rasa takut. Apakah aku sudah mati ? Tidak. Tapi, bagaimana kalau itu benar ?
Dan siapa orang ini sebenarnya. Penampilannya sangat aneh. Sedikitpun aku tak
bisa melihat wajahnya yang tertutupi kemilau cahaya. Memedihkan mata. Hanya
senyumnya saja yang terlihat. Mungkin hanya senyum yang terlukis di bibirnya.
“
Ikutlah bersamaku... Bertemu dengan bahagia yang kau nantikan. Ikhlas. Lepaskan
semua beban pertanyaan yang ada dalam pikiran mu ! “
Orang dengan
senyum hangat itu mengulurkan tangan ke arahku. Seperti mengajak kesebuah
tempat melewati pintu cahaya di belakangnya. Namun,aku tetap tertunduk.
Menghela napas dan gemetar, “ Tidak. “ kataku lirih.
Menurunkan
tangannya. Menatap jauh ke depan. Seolah-olah matanya bisa menembus kisahku
yang telah berlalu.
“ Sudah
cukup, banyak kesempatan yang telah Tuhan berikan padamu untuk hidup. Atas
izin-Nya sekarang akan kubawa kau menuju perjalanan panjang. Itulah kehidupan
yang sebenarnya. Kekal dan abadi. “
Aku menoleh
tidak mengerti. Kesempatan hidup ?
“
Anifah, tahukah kau, berkali-kali aku mengajakmu untuk ikut bersamaku mulai dari
cara yang paling baik hingga memaksa. Kau tetap saja hidup. Lantaran Tuhan tak
mengizinkan. Mungkin sekarang waktunya. “ Orang itu menghela napas.
Menghentikan kalimatnya.
“
Saat kau berlibur ke Bali bersama teman-teman SMA mu, apakah kau ingat ? Hujan
mengiringi perjalanan pulang rombongan wisata mu. Itulah salah satu cara ku
untuk membuat bus yang kau tumpangi mengalami kecelakaan dan hanya kau saja
yang tak terselamatkan nyawanya. Namun, kau berdoa dengan penuh harapan dan
keyakinan pada Tuhan untuk menghentikan hujan
supaya kau dan teman-teman mu pulang dengan selamat di perjalanan. Pun
Tuhan menghentikan hujan, seturut doa mu. Lalu, kau tertidur dalam bus yang
sedang melaju kencang di malam hari itu. Dan bukankah di dalam tidurmu kau
bermimpi berada di suatu tempat bersama seseorang yang menahanmu supaya kau
tidak bisa keluar dari tempat itu. Namun, kau selalu menyebut Allahuakbar,
Allahuakbar... hingga ada cahaya yang melepaskan mu dan membangunkanmu dari
tidurmu. Serta banyak lagi yang telah ku lakukan untuk menjemputmu. Namun, sama
saja. Sekarang aku datang padamu secara langsung, dihadapanmu, didepanmu.
Ikutlah bersamaku... “
Orang
itu menghentikan ceritanya. Jika tadi hanya mengulurkan satu tangan, sekarang
dua tangan. Apakah dia benar-benar menginginkan ku untuk ikut bersamanya ?
Seakan aku tak percaya dengan semua yang ia katakan. Perlahan-lahan tak terasa
tetesan air jatuh dari kedua mataku. Dan lambat laun akupun menangis
tersedu-sedu. Aku sudah merasa bahwa kakiku seperti tak lagi mau menancap di
bumi. Berdoa pun sudah ku lakukan. Menyebut nama Tuhanpun sudah ku
dengung-dengungkan. Mungkin dia benar. Inilah saatnya aku kembali. Ikut
bersamanya. Menuju perjalanan panjang.
Seperkian
detik otakku mulai mengenang semua peristiwa dalam hidupku. Entah baik atau
buruk. Sedih, senang. Tangis dan tawa bersama keluarga, guru-guru di sekolah
dan teman-teman. Akupun menyambut uluran tangannya. Memasuki pintu cahaya yang
berada tepat di belakangnya. Tubuhku terasa begitu ringan. Seringan pakaian
yang ku kenakan perlahan-lahan berganti. Suasana semakin terasa hening. Dingin.
***
“ An, bangun
!!! An, bangun !!! “ panggil adikku Eva. Panik.
Akupun terbangun. Entah, karena
suara panggilan adikku atau karena hal lain. Terasa berat mengangkat kepala
yang ku letakkan di pangkuan adikku. Ada hal kecil yang lucu saat pertama kali
aku sadarkan diri walau hanya sebentar. Melihat celana ku yang robek-robek
parah. Seperti iklan aktor Komeng di Mio super Z. Celananya compang-camping
ketika seseorang melintas menggunakan sepeda motor itu di depannya. Aku
tertawa, “ He..he..he.. “ Adikku tampak bingung. Dia mengira aku sudah
kehilangan akal. Kemudian, aku terjatuh tak sadarkan diri kembali. Ada beberapa
orang yang menolong ku saat itu. Mungkin saja dua... tiga...atau bahkan empat.
Mereka semua segera memasukkan ku ke dalam mobil wanita yang menabrakku.
Bergegas membawaku ke rumah sakit.
***
Seorang dokter tampak keluar dari
ruang pemeriksaan.
Lalu dia
berkata, “ Pasien tidak apa-apa. Walaupun kecelakaan yang dialami sangatlah
parah. Beruntung Tuhan menyelamatkannya. Tidak ada luka sama sekali di
tubuhnya. Padahal gesekan yang terjadi antara jalan dan tubuhnya sangatlah
keras, itu bisa dilihat dari celanya yang robek parah. Kebanyakan korban yang
mengalami nasib yang sama, terpental jauh dari sepeda yang di kendarainya. Pasien
akan mengalami luka parah, patah tulang, atau bahkan bisa saja meninggal. Anak
ibu seperti tidak mengalami apa-apa. “ jelas dokter heran.
“ Terima
kasih dokter. “ Jawab ibuku.
Aku , adikku dan seorang wanita muda
yang telah menabrak kami menunggu ibu di ruang tunggu. Kepalaku sedikit pusing.
Seperti orang linglung. Dalam hati aku bertanya, kenapa aku bisa sampai di
rumah sakit. Apa ada yang sakit ?
“ An , aku kira
kamu sudah meninggal. Beberapa saat aku periksa napas mu tidak ada. Dan... napas
mu kembali ada sambil memanggil-manggil ayah dan ibu. “ Celetuk adikku sambil
tertawa panik.
“ Oh, ya...
“ Jawabku singkat.
Beberapa menit kemudian, setelah
wanita muda itu menebus obat. Kami bertiga pun pulang diantar mobilnya. Dan
wanita muda itu meminta maaf pada kami.
***
Malam
Harinya
“ Anifah. ”
tiba-tiba seseorang seperti pernah aku kenal hadir dalam mimpiku.
” Jangan takut,
tenanglah. Sekedar kau ketahui bahwa setiap saat malaikat kematian datang untuk
menjemputmu. Tidak hanya kau, setiap manusia juga mengalami hal yang sama.
Tapi, kau selalu menemukan alasan untuk tetap hidup. Baik alasan karena
meyakini takdir Tuhan atau orang yang kau kasihani, Ayah dan ibumu. Tetaplah
berpegang teguh pada perintah Tuhan dan kasihi sesama, maka kau akan terlindung
dari bala’. ”
Setelah itu semuanya kembali hening.
” An, ini
obatnya. Kata ibu disuruh minum.” suara Eva membangunkanku dari tidur singkat.
“ Ha ??? iya
akan aku minum. (senyuman tipis).” Jantungku berdebar tak terkendali. Semoga
adikku tak mendengarnya.
Oleh : Anifa :)
Good story nif, Is it real? your writing is good. Love it.
BalasHapusKeep istiqomah for writing nif,
Really miss you ��
True story... pas ngalaminnya, aku takut sekali.Makanya gk berani cerita. Dengan nulis mungkin bisa berbagi. Semoga bermanfaat
Hapusmiss you and friends yas :)